Strategi Indonesia untuk Memerangi Perubahan Iklim dan Kehilangan Biodiversitasnya

Negara ini adalah salah satu negara pertama yang mengembangkan Recana Aksi Keanekaragaman Hayati (IBAP). Rencana ini diadopsi pada tahun 1991 dan dipublikasikan pada tahun 1993. Mengimplementasikan rencana aksi tersebut dalam konteks suatu rezim otoriter berarti bahwa komitmen pemangku kepentingan, pemahaman dan dukungan tidaklah cukup. Rencana itu sendiri masih mempunyai banyak kekurangan, apalagi berfokus pada kawasan lindung dan konservasi spesies dan menyediakan berbagai kebutuhan penting untuk pengelolaan biodiversitas.

Negara tersebut meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB (UNCBD) pada tahun 1994.

Pada tahun 2001, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk melakukan hal berikut:

  • meninjau keberhasilan dan kelemahan IBAP 1991;
  • menentukan efektivitas berbagai kebijakan nasional, perundang-undangan dan berbagai proses kelembagaan untuk konservasi biodiversitas yang berlaku saat ini.
  • mengidentifikasi hambatan terhadap perlindungan biodiversitas dan berbagai opsi untuk konservasi serta penggunaannya secara bijak; dan
  • menetapkan strategi yang memadai terhadap berbagai realitas sosial dan ekonomi baru yang dihadapi Indonesia.

Pada tahun 2003 telah dikembangkan sebuah rencana kedua (Rencana Aksi Strategi Biodiversitas Indonesia (IBSAP). Berbagai perubahan dramatis dalam kebijakan pemerintah sejak saat itu telah menyediakan banyak kesempatan untuk keikutsertaan lebih banyak pemangku kepentingan dan tanggung jawab yang lebih besar untuk pengelolaan biodiversitas pada tingkat provinsi dan masyarakat.

Pada tanggal 22 April 2015, Indonesia memperkenalkan Strategi Biodiversitas dan Rencana Aksinya yang baru, BSAP, 2015-2020

Undang-undang tentang Otonomi Daerah dan Desentralisasi (1999) memberikan peran besar, tugas dan tanggung jawab kepada provinsi dan kabupaten dalam perencanaan pembangunan, pelaksanaan dan pengelolaan sumber daya alam. Pengelolaan dan konservasi biodiversitas yang sekarang sebagian besarnya berada pada provinisi dan kabupaten dan tingkatan pemerintahan yang lebih rendah. Namun, Undang-undang No. 23 tahun 2014 menarik kembali sebagian tanggung jawab tersebut dari kabupaten, sekarang berkonsentrasi pada tata kelola hutan pada tingkat provinsi.

Indonesia telah meratifikasi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCC) pada 1994

Negara tersebut telah mulai menggabungkan mitigasi perubahan iklim dengan perencanaan pembangunan, yang menghasilkan "Respons Indonesia terhadap Perubahan Iklim" dan juga berbagai "peta jalan" spesifik sektor dan rencana-rencana aksi mitigasi.

Pada bulan Oktober 2007, Pemerintah Indonesia membuat Rencana Aksi Nasional tentang Perubahan Iklim (RAN-PI, 2007), yang bertujuan untuk mencapai suatu ekonomi rendah karbon dalam jangka panjang dan untuk mengubah wilayah hutan dari sumber emisi CO2 menjadi 'rosot karbon'.

RENSTRA (Rencana Nasional): Pemerintah Indonesia telah merancang suatu strategi sektoral (rencana aksi lima tahun) untuk 2015 - 2019 dengan prioritas pada reformasi pengelolaan hutan, melestarikan biodiversitas, memperkuat hak-hak masyarakat setempat yang bergantung pada hutan, dan tindakan penegakan hukum.

RAN/RAD-GRK: Pemerintah Indonesia telah mengembangkan rencana aksi Nasional dan provinsi untuk mengurangi gas rumah kaca.

Pemerintah Indonesia, dalam konteks Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya secara unilateral sebesar 26% pada tingkat "bisnis seperti biasa" pada 2020, dan sebesar 41% dengan cukup dukungan internasional.