Sanksi Belum Terealisasi, Daerah Tunggu Surat KLHK Terkait Pengawasan di Lapangan

Kompas, November 7, 2015
JAKARTA, KOMPAS — Setidaknya tiga pekan setelah pengumuman sanksi administratif bagi 14 perusahaan yang lahannya terbakar, penerapan di lapangan belum diwujudkan. Pemerintah beralasan masih merumuskan detail sanksi, mulai dari permintaan maaf lewat media massa hingga kewajiban pemulihan lingkungan.
"Sedang dipersiapkan," kata Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rasio Ridho Sani, Jumat (6/11), saat dialog pakar "Bedah Karlahut dari Aspek Legal dan Penegakan Hukum" di Jakarta.
Read more...
Menurut Ridho, implementasi di lapangan baru dapat berjalan setelah rumusan-rumusannya selesai dibuat dan dituangkan dalam perundangan. Terkait kebakaran di dalam kawasan hutan, mekanisme tindak lanjut kewajiban merestorasi lahan akan dirumuskan lebih dulu oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL).
Kementerian LHK sudah mengumumkan sanksi bagi 14 perusahaan, yaitu sanksi pencabutan izin bagi tiga perusahaan, pembekuan izin bagi tujuh perusahaan, dan paksaan pemerintah bagi empat perusahaan. Tim juga sudah meninjau 41 lokasi lahan terbakar dan sedang memfinalisasi 13 lokasi untuk penetapan sanksi administratif lagi.

Soal proses hukum yang terkesan lamban, menurut Rasio, itu karena kasus pidana lingkungan sangat kompleks, tidak sesederhana kasus pidana umum. Salah satu tantangan, menyiapkan ahli untuk pembuktian harus berbasis data ilmiah
Dirjen PHPL Kementerian LHK Ida bagus Putera Parthama mengatakan, sejauh ini, negara telah mengambil alih seluruh areal konsesi izin perusahaan yang terkena sanksi.
Sebelumnya, dijelaskan bahwa untuk perusahaan yang dibekukan izinnya, tidak boleh ada kegiatan operasional pada areal konsesi. Areal lahan yang terbakar diambil alih negara.
Kenyataannya, dari total izin hak guna usaha seluas 7.041 hektar PT Tempirai Palm Resources di Sumatera Selatan yang terkena sanksi pembekuan izin, pengambilalihan izin ternyata hanya 40 hektar. Lahan yang dibekukan hanya pada areal terbakar.

Direktur Utama PT Tempira Palm Resources Reza Herlambang mengatakan, hampir seluruh operasional perusahaan masih berjalan meski telah dikurangi. Pengambilan tandan sawit pun masih dilakukan meski volumenya hanya 50 persen dari biasanya.
Namun, tambah Reza, perusahaan berupaya menjaga agar kebakaran dari luar tak lagi meluas ke kebunnya. Penjagaan kebun selama 24 jam sehari itu melibatkan lebih kurang 50 staf perusahaan dan 180 warga sekitar yang dibayar pihaknya.
Di Pontianak, tindak lanjut sanksi perusahaan malah belum masuk dalam pengawasan pemerintah daerah. Sejumlah pejabat, seperti Wakil Gubernur Kalimantan Barat Christiandy Sanjaya, tidak mengetahui hal itu. "Soal putusan ini, kami tidak mengetahuinya. Demikian juga dengan nama-nama perusahaannya, kami belum mendapatkan penjelasan dari pusat," ujarnya.
Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Barat Agatho Adan menuturkan belum mendapat tembusan informasi tersebut dari KLHK. Belum ada komunikasi ataupun pembahasan bersama dengan pemerintah pusat.
Pantauan di areal hutan tanaman industri (HTI) PT Dyera Hutan Lestari, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, tidak tampak keberadaan petugas atau pejabat perusahaan. Perusahaan itu dikenai sanksi pencabutan izin.
Menurut Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Irmansyah, tindak lanjut sanksi juga belum direalisasi. "Kami belum menerima surat keputusan dari pihak kementerian. Jadi, kami belum bisa mengambil tindakan," katanya.
Irmansyah menjelaskan, pihaknya telah berulang kali menegur perusahaan terkait peristiwa kebakaran di konsesi itu. Pihak perusahaan dikenai sanksi pemerintah pusat, karena selama tiga hingga empat tahun berturut-turut tidak melaporkan rencana kerja tahunan dan tidak menunjukkan hasil kerjanya.
Catatan Kompas, areal itu beberapa kali mengalami kebakaran sejak tahun 2000-an. Arealnya yang merupakan rawa gambut, sudah sejak 10 tahun dibiarkan terbengkalai. Selain itu, perusahaan tidak memiliki kelengkapan sarana pemadaman dan pencegahan kebakaran. Setiap kali terjadi kebakaran, pemadaman hampir sepenuhnya dilakukan warga dan petugas pemadam.
September lalu, sebagian hutan itu kembali terbakar dan mengakibatkan kabut asap hingga permukiman warga. Sukri (43), warga setempat, menuturkan, kebakaran hutan terjadi karena api merambat dari lahan perusahaan lain di dekat hutan. Adapun konsesi tersebut tidak dijaga.
Soal perizinan
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Hadi Jatmiko mengatakan, wilayah itu memiliki 1,4 juta hektar rawa gambut. Namun, hampir 1,2 juta hektarnya telah dibebani izin HTI dan kebun sawit, serta sebagian kecil tambang batubara. "Kerusakan lahan gambut Sumsel sudah sekitar 80 persen sehingga sangat mudah terbakar," katanya.
Pihaknya mendapati penyalahgunaan wewenang dan perizinan. Salah satu yang kerap terjadi, persyaratan pengajuan izin belum lengkap, tetapi sudah mendapat lampu hijau dari pejabat pemerintahan untuk beraktivitas.
Hal serupa dikemukakan Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Mouna Wasef. Persyaratan pengajuan izin konsesi sering kali belum lengkap, tetapi izin dengan mudah keluar. Ia mencontohkan, di Desa Pangkalan Gondai, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau, air bersih tercemari limbah sejumlah perusahaan pengolah sawit. Pembuangannya langsung ke sungai. Pihaknya mendapati tanaman yang berada di sekitar banyak yang mati.
Warga Desa Pangkalan Gondai, Ary (23), mengeluhkan air bersih yang kian menipis selama dua bulan terakhir. Lahan yang subur pun berubah kering dan sulit dimanfaatkan warga. "Mau bercocok tanam sudah tidak bisa," ujar Ary.
Dari data ICW, selama kurun 2010-2015, sebanyak tujuh pejabat di lingkungan pemerintah daerah di Riau masuk bui karena meloloskan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHK-HT) berbagai perusahaan di wilayahnya.
Data Walhi Riau menunjukkan, dari total 37 perizinan untuk kepentingan HTI di atas gambut, sebanyak 20 izin terindikasi korupsi. "Kasusnya melibatkan kepala-kepala daerah," katanya.
Kemudian dari 3,4 juta hektar perkebunan sawit, seluas 2 juta hektar belum dilengkapi izin pelepasan kawasan hutan.
Dari keseluruhan luas gambut Riau 4,2 juta hektar, sudah 2,2 juta hektar rusak oleh kanalisasi kebun dan HTI. "Tersisa 2 juta hektar saja, tetapi juga dalam ancaman kerusakan yang berat," ujar Even Sembiring, Deputi Walhi Riau.
Aktivis Walhi Kalbar, Henrikus Adam, menuturkan perlu tindakan tegas negara. Sanksi itu tidak akan berjalan efektif tanpa kontrol yang kuat. Koordinasi pemerintah pusat dan daerah jangan sampai melemah.
Honor pemadam
Dari Riau dilaporkan, Jumat (6/11), honor petugas Manggala Agni seluruh wilayah Indonesia yang sempat tertunda dua bulan, akhirnya diterima. Para petugas yang selama ini berjuang melawan api gembira atas dana senilai Rp 3,2 juta (honor per bulan Rp 1,6 juta) yang lama dinanti. "Uang itu langsung saya bawa pulang, diberikan kepada istri. Sudah banyak utang di warung yang harus dibayar," ujar Andrean, petugas Manggala Agni asal Pematang Reba, Indragiri Hulu.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Riau Edwar Sanger, secara terpisah, mengungkapkan, dana operasional pemadaman kebakaran lahan dan hutan sebagian besar juga sudah dibayarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Bahkan, untuk petugas Manggala Agni di lapangan mendapat bantuan Rp 100.000 per hari per orang. "Dana untuk Manggala Agni Riau sudah dicairkan Rp 200 juta lewat BPBD Riau," kata Edwar.
Namun, Kepala Bidang II Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau Supartono mengatakan, dana itu dipakai untuk menambah kekurangan dana operasional Manggala Agni. "Sebagian sudah menerima, sebagian lagi belum," katanya.
(JOG/IRE/DNA/IAN/SAH/ESA/ITA/JUM/PRA)