1 / 3

FORCLIME

 Forests and Climate Change Programme
 Technical Cooperation (TC Module)
2 / 3

FORCLIME

 Forests and Climate Change Programme
 Technical Cooperation (TC Module)
3 / 3

FORCLIME

 Forests and Climate Change Programme
 Technical Cooperation (TC Module)

Hutan-hutan Indonesia

Indonesia termasuk negara dengan luas hutan terbesar di dunia setelah Brazil dan Republik Demokrasi Congo, yang melingkupi sekitar 71% (133,57 juta hektar) dari seluruh area lahan di Indonesia (187,9 juta hektar).

Namun, degradasi hutan di Indonesia bersamaan dengan penurunan keanekaragaman hayati telah terjadi dalam skala besar sebagai akibat dari pengelolaan hutan yang tidak lestari, kebakaran hutan dan pembalakan liar. Selain degradasi terus menerus, hutan Indonesia menurun pada tingkat yang mengkhawatirkan, terutama akibat konversi lahan hutan untuk pemanfaatan lainnya.

Tingkat deforestasi yang tinggi ini berbeda antara periode berikut:

  • 1982-1990:     0,90 juta ha/tahun
  • 1990-1997:     1,80 juta ha/tahun
  • 1997-2000:     2,83 juta ha/tahun
  • 2000-2005:     1,08 juta ha/tahun

Pohon dan vegetasi lainnya memainkan peran penting dalam siklus karbon global. Hutan yang berkembang aktif menyedot karbon dioksida dari atmosfir, dan melalui proses fotosintesis mengubahnya menjadi biomassa. Hasil dari siklus ini menunjukkan bahwa hutan yang sudah tua menyimpan karbon dalam jumlah besar, menguncinya di pohon-pohon dan vegetasi lain sebagai biomassa, baik di atas dan di bawah tanah. Sementara hutan menyingkirkan CO2 yang dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi melepaskan CO2 ini ke atmosfir.

Tingginya tingkat deforestasi di Indonesia membuat negara ini menjadi salah satu emitor gas rumah kaca terbesar  di dunia. Terutama konversi hutan lahan gambut dan kebakaran hutan yang tidak terkendali menyebabkan sebagian besar emisi dari sektor hutan Indonesia. Menurut Inventarisasi GHG Nasional, berubahnya pemanfaatan lahan dan kehutanan memberikan kontribusi lebih dari 50% untuk total emisi Indonesia.

Di seluruh dunia, setiap tahun sekitar 13.000.000 hektar hutan hilang. Menurut IPCC 2007, emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, terutama di daerah tropis, menyumbang sekitar 20% dari emisi gas rumah kaca global saat ini (sementara hasil studi tahun 2009 menyimpulkan 12%). Melindungi hutan yang terancam dianggap salah satu pilihan paling tidak mahal untuk mitigasi iklim (Kajian oleh Stern tentang Ekonomi Perubahan Iklim, 2006).

Pada Konferensi Perubahan Iklim di Bali (COP13) pada bulan Desember 2007, tingginya relevansi REDD (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi) telah diakui, mengarah pada permintaan yang tinggi untuk melakukan demonstrasi kegiatan REDD guna memperoleh pengalaman di lapangan.

REDD – Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan

Dalam negosiasi perubahan iklim internasional, para pendukung telah mengusulkan REDD sebagai instrumen baru untuk memberikan kontribusi terhadap upaya global dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Konsep ini disusun untuk memberikan insentif keuangan berbasis kinerja dalam menjaga tutupan hutan dan biomassa (stok karbon), dengan kata lain untuk mengelola hutan secara lestari ketimbang menebangnya. Insentif ini harus didukung oleh perbaikan hukum dan lembaga-lembaga yang kuat.
Untuk membuat REDD efektif, setidaknya ada empat tantangan yang harus diatasi. Pelestarian hutan di satu daerah harus tidak mengarah pada deforestasi di wilayah lain ("leakage"); negara-negara harus menghentikan kehilangan hutan bukan hanya sekarang tapi juga untuk masa depan ("permanence") dan mengembangkan metode-metode untuk memverifikasi dan mengawasi pengurangan emisi.
Yang terpenting, pembayaran REDD yang diusulkan dan skema distribusi harus benar-benar menguntungkan pengguna hutan dan menjadi insentif untuk melestarikan hutan.
Mengurangi emisi akibat deforestasi di negara berkembang tidak hanya akan menangani sumber utama emisi gas rumah kaca, tetapi juga akan membuka jalan bagi negara-negara berkembang untuk memainkan peran aktif dalam upaya pengurangan emisi di bawah aturan perubahan iklim internasional.
Gagasan untuk mempromosikan insentif bagi pelestarian hutan dalam aturan perubahan iklim hampir secara universal dihargai sebagai kontribusi penting dan substansial terhadap kebijakan iklim internasional.

Bagaimana Indonesia Mengelola Hutan dan Perubahan Iklim

Menurut Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional BAPPENAS (Buku Kuning, 2010) tujuan kebijakan sektor kehutanan adalah:

  1. Mendukung program rehabilitasi hutan dan lahan melalui A/R CDM;
  2. Mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan melalui pengembangan skema efektif REDD;
  3. Mempercepat rehabilitasi dan revitalisasi daerah lahan gambut.

Prioritas kegiatan di sektor kehutanan adalah sebagai berikut:

Mitigasi:

  • Praktek terbaik dan teknologi progresif di lahan gambut
  • Peningkatan penyerapan GHG (peningkatan rosot karbon)
  • Pengurangan/pencegahan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan
  • Penelitian dan pengembangan kehutanan

Adaptasi:

  • Peningkatan kelestarian sumber daya hutan untuk meningkatkan daya tahan dan kemampuan beradaptasi
  • Peningkatan daya tahan dan kemampuan beradaptasi kehidupan masyarakat di sekitar hutan.
  • Peningkatan usaha-usaha pelestarian hutan untuk meningkatkan daya tahan dan kemampuan beradaptasi
  • Penelitian dan pengembangan di sektor kehutanan
in cooperation with ministry of forestry and environment Didukung oleh:
Cooperation - Republic of Indonesia and Federal Republic of GermanyImplemented-by-giz